Dasar Theologis Jawa

Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa. Pemikiran etik religius Mangkunegara IV pada dasamya. Sesuai dengan konsep musyahadah Al Qusyairi yakni melihat Allah dengan mata hati, kelihatan kesesuaian antara keduanya. Nilai theologis dalam Wedhatama dijelaskan dengan idiom sinimpen telenging kalbu yakni alat untuk melihat Tuhan setelah terlebih dahulu dibukakantabir yang menutupiNya. Pemikiran theologis Jawa yang menempati strata paling dasar adalah tatacara panembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Secara teoritis konsep sembah atau panembah dikemukakan Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama (Ardani, 1995: 96). Konsep ini dikaitkan dengan kemuliaan budi luhur dan kehinaan budijahat. Sembah dan budi luhur adalah dua hal yangmenyatu,senafas dan saling berkait, dalam rangka mendekatkan diri kepadaTuhan sedekat-dekatnya. 

Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah, atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sarna dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudlu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam, dengan mengindahkan pedoman secara tepat tekun dan terus-menerus, seperti bait berikut:

Sembah raga puniku
pakartining wong amagang laku
sesucine asarana saking warih
kang wus lumrah limang wektu wantu
wataking wawaton.

Terjemahan: Sembah raga adalah Perbuatana orang yang sedang melakukan Bersuci dengan air bening Biasa disebut lima waktu Saat yang sudah ditentukan.

Perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian, sebagai orang yang menjalani tahap awal kehidupan bertapa. Sembah ini didahului dengan bersuci yangmenggunakan air.Sembah raga ditunaikan seharisemalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya, lima kali dalam tiap-tiap sehari semalam. Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan terusmenerustiada henti seumur hidup, dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani. Watak suatu pedoman harus dipedomani (Hazim Amir, 1994: 71). Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.

Shalat lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan setiap muslim dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya, wantu wataking wawaton. Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani. Watak suatu waton harus dipedomani. Tanpamempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah. Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspekrohaniah, sebaborang yang magang laku selain ia menghadirkan seperang. kat fisiknya, iajuga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:

Samengko kang tinutur
Sembah katri kang sayekti katur
Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari
Arahen dipun kecakup
Sembahing jiwa sutengong.

Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalann hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:

Sayekti luwih perlu
ingaranan pepuntoning laku
Kalakuan kang tumrap bangsaning batin
Sucine lan awas emut
Mring alaming lama amota.

Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.

Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:

”Ruktine ngangkah ngukud
ngiket ngruket triloka kakukud
jagad agung ginulung lan jagad alit
den kandel kumandel kulup
mring kelaping alam kono.”

Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.

Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).

Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya. Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:

”Semongko ingsun tutur
gantya sembah lingkang kaping catur
sembah rasa karasa wosing dumadi
dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing batos.”

Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.

Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.

Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:

”Iku luwih banget gawat neki
ing rarasantang keneng rinasa
tan kena ginurokake
yeku yayi dan rampung
eneng onengira kang ening
sungapan ing lautan
tanpa tepinipun
pelayaran ing kesidan
aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.”
(Samudera Hening).